Kamis, 18 Desember 2008

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN GAKI

Program iodisasi garam merupakan program jangka panjang untuk penanggulangan Ganguan Akibat Kekurangan Iodium ( GAKI ) , cara ini dianggap yang paling sederhana dan aman, karena secara fisiologis memberikan iodium melalui makanan. Pengobatan GAKI tidak memberikan hasil yang memuaskan, yang terpenting dan memberikan hasil baik adalah upaya pencegahan. Upaya pencegahan itu dilakukan dengan tiga cara :
1. Penyuntikan depot lipiodol (iodium dalam minyak) intramuskular dengan dosis 2 ml. Dosis ini diberikan kepada anak-anak dan kepada ibu usia subur terutama pada ibu hamil. Penyuntikan ini merupakan upaya pencegahan sementara karena hanya menyediakan iodium dalam jangka waktu 6 bulan.
2. Distribusi garam dapur yang difortifikasi dengan iodium (KJO3) , tetapi ternyata kurang stabil karena mengalami kerusakan oksidatif, terutama jika terkena sinar matahari di udara terbuka. Saat ini digunakann KJO3 yang ditambahkan pada garam dapur (NaCl) dengan dosis 30.000 mg per kg garam. Penyediaan garam beriodium ini harus dibarengi oleh penyuluhan kepada masyarakat dan ditopang oleh peraturan dimana GAKI menjadi endemik.
3. Suplementasi iodium pada binatang ternak. Peningkatan aras iodium meningkat secara bermakna dalam air susu dan daging yang pada gilirannya kelak akan bertindak sebagai wahana pembawa iodium bagi konsumen.
Upaya untuk mencegah GAKI ternyata memiliki banyak hambatan antara lain bahwa di Indonesia garam dapur di produksi oleh rakyat yang tersebar disepanjang pantai Indonesia, sedangkan upaya fortifikasi iodium harus dilaksanakan di pabrik dengan kontrol dan pengawasan yang ketat. Selain itu, pada penyuntikan lipiodol biaya yang diperlukan terlalu mahal dan memerlukan dukungan logistik (alat suntik, tenaga pelaksana yang terlatih, transport obat yang menjamin tidak menyebabkan penurunan kadar preparat) dan sistem pemeliharaan data hasil monitoring.
Beberapa faktor penghambat program iodinasi:
1. Harga garam beriodium yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan garam non-iodium membuat banyak masyarakat penderita lebih memilih garam non-iodium untuk konsumsi sehari-hari.
2. Minat masayarakat penderita yang rendah akan garam beriodium. Selain karena harganya yang dianggap lebih mahal, hal ini juga disebabkan karena masih sangat kurang kampanye kesehatan mengenai pentingnya mengkonsumsi garam beriodium, terutama daerah-daerah endemik.
3. Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beriodium. Tingginya biaya produksi mengkin menjadi penyebab utama hal ini. Kondisi masayarakat yang cenderung untuk membeli garam yang lebih murah harganya, membuka kesempatan untuk bersaing secara tidak sehat, diantaranya dengan memproduksi garam beriodium yang tidak memenuhi syarat.
4. Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan pemerintah. Meskipun berbagai peraturan sudah ada, namun tidak adanya sanksi yang tegas dan jelas mengundang produsen untuk menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat.
5. Distribusi garam beridoium masih terbatas, sehingga masih banyak daerah endemik yang belum memperolehnya.
Kondisi GAKI tidak saja karena defisiensi primer dari zat gizi iodium. Ada kemungkinan terdapat bahan-bahan yang menghambat penyerapan iodium atau menghambat penggunaanya oleh sel-sel kelenjar gondok. Misalnya saja zat organik yang terdapat pada sawi cina yang menghambat pengikatan iodium pada rongga usus sehingga tidak dapat terserap oleh tubuh, HCN pada singkong dan kacang-kacangan yang dibebaskan dari glukosida cyanogenik dan didetoksifikasi di hati menjadi HCNS, zat ini menghambat iodium masuk ke kelenjar thyroid.
Segala upaya yang dilakukan seperti penyuntikan lipiodol dan distribusi garam dapur harus ditunjukkan pada daerah-daerah endemik dan ditopang oleh Peraturan Daerah yang hanya mengizinkan perdagangannya garam beriodium di daerah-daerah endemik tersebut. Pada bahan-bahan yang dapat menghambat penyerapan iodium harus mendapatkan perhatian dan sebaiknya diteliti lebih jauh, terutam bagi wilayah yang menggunakan singkong sebagai konsusmsi utama. Semua hal ini jika berjalan dengan lancar diharapkan dapat menurunkan penderita GAKI.
Pemilihan cara intervensi didasarkan pada derajat keparahan atau keendemisan GAKI:
• GAKI derajat ringan, kisaran prevalensi pada anak sekolah 5 – 20% dan kadar iodium dalam urin 3,5 – 5,0 μg/dl; dapat dikoreksi dengan pemberian garam beriodium sebanyak 10 – 25 mg/kg. GAKI yang ringan ini biasanya akan lenyap dengan sendirinya bila status ekonomi penduduk ditingkatkan.
• GAKI derajat sedang, prevalensi gondok mencapai angka 30%, kadar iodium dalam urin 2,0 – 3,5 μg/dl; dapat dikoreksi dengan garam beriodium sebanyak 25 – 40 mg/kg; dengan catatan bila garam tersebut dapat diproduksi dan disebar secara efektif. Jika tidak mungkin, lebih baik diberi minyak beriodium yang bisa diberi secara oral atau suntikan melalui puskesmas.
• GAKI berat, dengan prevalensi gondok 30% atau lebih, kretin endemis 1 – 10% dan kadar iodium urin kurang dari 2,0 μg/dl; harus diberi minyak beriodium baik secara oral suntikan. Dosis oral diberikan setiap 3, 6 dan 12 bulan. Suntikan dilakukan setiap 2 tahun. Pada kenyataannya, pemberian secara oral baru berhasil bila “penderita” bisa dihubungi setidaknya setahun. Oleh karena itu, preparat suntikan lebih disukai.
DIET MAKANANNYA
Kebutuhan iodium sehari sekitar 1 – 2 μg per kg berat badan. Laut merupakan sumber utama iodium. Oleh karena itu, makanan laut berupa ikan, udang dan kerang serta ganggang laut merupakan sumber iodium yang baik. Di daerah pantai, air dan tanah mengandung banyak iodium sehingga tanaman yang tumbuh di daerah pantai mengandung cukup banyak iodium.
Bahan pangan yang bersifat sebagai sumber iodium adalah yang berasal dari laut dikenal dengan seafood. Akan tetapi didaerahdimana seafood tidak tersedia, diet iodium lebih mudah diperoleh dalam bentuk bahan pangan hasil fortifikasi atau berupa suplemen. Salah satu bahan pangan yang berhasil di fortikasi dengan iodium adalah garam.
Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Oleh karena itu, mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam sangat penting agar dapat memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Di negara-negara berkembang konsumsi iodium paling banyak diperoleh dari makanan yang berasal dari laut, mengingat air laut mengandung iodium cukup tinggi. Menurut Nurlaila, dkk (1997) rumput laut dapat digunakan sebagai bahan subtitusi dalam pengembangan produk sumber iodium antara lain berupa 1) kelompok produk makanan selingan atau makanan jajanan ; 2) kelompok produk lauk-pauk ; 3) kelompok produk sayur-sayuran.
Di USA dan Kanada peningkatan konsumsi iodium adalah dengan suplementasi, misalnya dengan garam dapur (garam beriodium) dan juga dalam medikasi dan zat-zat pendiagnosis. Di Indonesia garam termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan oleh masyarakat dan oleh karena itu merupakan bahan makanan penting. Secara normal jumlah garam yang dikonsumsi per orang per hari adalah sekitar 5 – 15 gram sedangkan yang dianjurkan yaitu tidak melebihi 6 gram atau satu sendok teh setiap hari. Hal ini disebabkan karena apa bila konsumsi garam berlebihan dapat memicu timbulnya berbagai penyakit lain seperti tekanan darah tinggi atau hipertensi (DitJen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 1995).
Soehardjo (1990) mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi pangan yang kaya iodium dapat menekan atau bahkan mengurangi besarnya prevalensi gondok. Berikut Gibson (1990) menyebutkan rata-rata kandungan iodium dalam bahan makanan antara lain : Ikan Tawar 30 mg; Ikan Laut 832 mg; Kerang 798 mg; Daging 50 mg; Susu 47 mg; Telur 93 mg; Gandum 47 mg; Buah-buahan 18 mg; Kacang-kacangan 30 mg dan Sayuran 29 mg.

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN GAKI

Program iodisasi garam merupakan program jangka panjang untuk penanggulangan Ganguan Akibat Kekurangan Iodium ( GAKI ) , cara ini dianggap yang paling sederhana dan aman, karena secara fisiologis memberikan iodium melalui makanan. Pengobatan GAKI tidak memberikan hasil yang memuaskan, yang terpenting dan memberikan hasil baik adalah upaya pencegahan. Upaya pencegahan itu dilakukan dengan tiga cara :
1. Penyuntikan depot lipiodol (iodium dalam minyak) intramuskular dengan dosis 2 ml. Dosis ini diberikan kepada anak-anak dan kepada ibu usia subur terutama pada ibu hamil. Penyuntikan ini merupakan upaya pencegahan sementara karena hanya menyediakan iodium dalam jangka waktu 6 bulan.
2. Distribusi garam dapur yang difortifikasi dengan iodium (KJO3) , tetapi ternyata kurang stabil karena mengalami kerusakan oksidatif, terutama jika terkena sinar matahari di udara terbuka. Saat ini digunakann KJO3 yang ditambahkan pada garam dapur (NaCl) dengan dosis 30.000 mg per kg garam. Penyediaan garam beriodium ini harus dibarengi oleh penyuluhan kepada masyarakat dan ditopang oleh peraturan dimana GAKI menjadi endemik.
3. Suplementasi iodium pada binatang ternak. Peningkatan aras iodium meningkat secara bermakna dalam air susu dan daging yang pada gilirannya kelak akan bertindak sebagai wahana pembawa iodium bagi konsumen.
Upaya untuk mencegah GAKI ternyata memiliki banyak hambatan antara lain bahwa di Indonesia garam dapur di produksi oleh rakyat yang tersebar disepanjang pantai Indonesia, sedangkan upaya fortifikasi iodium harus dilaksanakan di pabrik dengan kontrol dan pengawasan yang ketat. Selain itu, pada penyuntikan lipiodol biaya yang diperlukan terlalu mahal dan memerlukan dukungan logistik (alat suntik, tenaga pelaksana yang terlatih, transport obat yang menjamin tidak menyebabkan penurunan kadar preparat) dan sistem pemeliharaan data hasil monitoring.
Beberapa faktor penghambat program iodinasi:
1. Harga garam beriodium yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan garam non-iodium membuat banyak masyarakat penderita lebih memilih garam non-iodium untuk konsumsi sehari-hari.
2. Minat masayarakat penderita yang rendah akan garam beriodium. Selain karena harganya yang dianggap lebih mahal, hal ini juga disebabkan karena masih sangat kurang kampanye kesehatan mengenai pentingnya mengkonsumsi garam beriodium, terutama daerah-daerah endemik.
3. Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beriodium. Tingginya biaya produksi mengkin menjadi penyebab utama hal ini. Kondisi masayarakat yang cenderung untuk membeli garam yang lebih murah harganya, membuka kesempatan untuk bersaing secara tidak sehat, diantaranya dengan memproduksi garam beriodium yang tidak memenuhi syarat.
4. Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan pemerintah. Meskipun berbagai peraturan sudah ada, namun tidak adanya sanksi yang tegas dan jelas mengundang produsen untuk menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat.
5. Distribusi garam beridoium masih terbatas, sehingga masih banyak daerah endemik yang belum memperolehnya.
Kondisi GAKI tidak saja karena defisiensi primer dari zat gizi iodium. Ada kemungkinan terdapat bahan-bahan yang menghambat penyerapan iodium atau menghambat penggunaanya oleh sel-sel kelenjar gondok. Misalnya saja zat organik yang terdapat pada sawi cina yang menghambat pengikatan iodium pada rongga usus sehingga tidak dapat terserap oleh tubuh, HCN pada singkong dan kacang-kacangan yang dibebaskan dari glukosida cyanogenik dan didetoksifikasi di hati menjadi HCNS, zat ini menghambat iodium masuk ke kelenjar thyroid.
Segala upaya yang dilakukan seperti penyuntikan lipiodol dan distribusi garam dapur harus ditunjukkan pada daerah-daerah endemik dan ditopang oleh Peraturan Daerah yang hanya mengizinkan perdagangannya garam beriodium di daerah-daerah endemik tersebut. Pada bahan-bahan yang dapat menghambat penyerapan iodium harus mendapatkan perhatian dan sebaiknya diteliti lebih jauh, terutam bagi wilayah yang menggunakan singkong sebagai konsusmsi utama. Semua hal ini jika berjalan dengan lancar diharapkan dapat menurunkan penderita GAKI.
Pemilihan cara intervensi didasarkan pada derajat keparahan atau keendemisan GAKI:
• GAKI derajat ringan, kisaran prevalensi pada anak sekolah 5 – 20% dan kadar iodium dalam urin 3,5 – 5,0 μg/dl; dapat dikoreksi dengan pemberian garam beriodium sebanyak 10 – 25 mg/kg. GAKI yang ringan ini biasanya akan lenyap dengan sendirinya bila status ekonomi penduduk ditingkatkan.
• GAKI derajat sedang, prevalensi gondok mencapai angka 30%, kadar iodium dalam urin 2,0 – 3,5 μg/dl; dapat dikoreksi dengan garam beriodium sebanyak 25 – 40 mg/kg; dengan catatan bila garam tersebut dapat diproduksi dan disebar secara efektif. Jika tidak mungkin, lebih baik diberi minyak beriodium yang bisa diberi secara oral atau suntikan melalui puskesmas.
• GAKI berat, dengan prevalensi gondok 30% atau lebih, kretin endemis 1 – 10% dan kadar iodium urin kurang dari 2,0 μg/dl; harus diberi minyak beriodium baik secara oral suntikan. Dosis oral diberikan setiap 3, 6 dan 12 bulan. Suntikan dilakukan setiap 2 tahun. Pada kenyataannya, pemberian secara oral baru berhasil bila “penderita” bisa dihubungi setidaknya setahun. Oleh karena itu, preparat suntikan lebih disukai.

GAKI

GAKI merupakan salah satu masalah yang serius di Indonesia dan diketahui mempunyai kaitan erat dengan gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus-menerus dalam waktu yang lama sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan hormon tiroksin yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup baik manusia maupun hewan (DepKes RI 1996).
Iodium adalah jenis elemen mineral mikro kedua sesudah besi yang dianggap penting bagi kesehatan manusia walaupun sesungguhnya jumlah kebutuhan tidak sebanyak zat-zat gizi lainnya. Djokomoeldjanto (1993) mengatakan bahwa manusia tidak dapat membuat unsur atau elemen iodium dalam tubuhnya seperti membuat protein atau gula, tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh (secara alamiah) melalui serapan iodium yang terkandung dalam makanan serta minuman.
Zat iodium merupakan zat kimia yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghasilkan hormon tiroid. Hormon ini diproduksi oleh dua buah kelenjar tiroid atau kelenjar gondok yang terletak di leher bagian depan di bawah dagu. Hormon tiroid diangkut oleh pembuluh darah dari “pabriknya” di kelenjar gondok keseluruh tubuh untuk mengatur proses kimiawi yang terjadi di dalam sel-sel berbagai organ tubuh termasuk sel-sel otak dan susunan syaraf pusat. Selain berpengaruh pada proses faal tubuh dalam metabolisme energi, juga sangat berperan dalam perkembangan otak dan sistem susunan syaraf.
GAKI (Ganguan Akibat Kekurangan Iodium) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang memerlukan penanganan yang intensif, karena kekurangn iodium tidak hanya mengakibatkan pembesaran kelenjar gondek (tiroid), tetapi juga dapat mengakibatkan kelainan-kelainan lain berupa gangguan fisik (pertumbuhan terhambat_kekerdilan, bisu dan tuli), gangguan mental, dan gangguan neuromotor. Gangguan fisik, mental dan neuromotor yang tidak dapat disembuhkan (iireversible) abnyak ditemukan di daerah endemik berat.
PENYEBAB GAKI
Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :
• Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab utama terjadinya masalah GAKI. Hal ini karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto 1994).
Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi maka akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling (Djokomoeldjanto 1994).
• Faktor Geografis dan Non Geografis
Djokomoeldjanto (1994) mengatakan bahwa GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan di Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan.
Daerah yang biasanya mendapat persediaan makanan dari daerah lain sebagai penghasil pangan, seperti daerah pegunungan yang miskin kadar iodium dalam air dan tanahnya. Dalam jangka waktu yang lama namun pasti daerah tersebut akan mengalami defisiensi iodium atau daerah endemik iodium.
• Faktor Bahan Pangan Goiterogenik
Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik (Djokomoeldjanto 1974). Zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh.
Giterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat. Goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti kelompok Sianida (daun dan umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ; kelompok Isothiosianat (daun pepaya) dan kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka).
• Faktor Zat Gizi Lain
Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar thyroid terutama tahap transportasi hormon. Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T4 dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3 dan T4 bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya menurun.

Rabu, 17 Desember 2008

CARA MEMILIH MAKANAN DI ARAB SAUDI

Berdasarkan pengamatan TKHI tahun 2000-2001, jemaah haji yang menggunakan ONH PLUS maupun ONH biasa selama di Makkah dan Medinah dapat membeli makanan berupa makanan sudah jadi atau makanan siap santap.

Selama berada ditanah suci kemungkinan besar jamaah haji akan mengalami perbedaan kebiasaan makan. Keadaan ini harus disadari sejak jamaah haji berniat untuk menunaikan ibadah haji. Dengan niat dan tekad yang mantap, maka jemaah siap untuk menerima perubahan yang akan dihadapinya termasuk mengenai berbagai jenis hidangan atau bahan makanan baru yang terdapat di Arab Saudi.

Kegiatan jemaah haji di Arab Saudi termasuk kegiatan fisik yang berat. Lingkungan penuh sesak manusia, terik matahari dan kelembaban rendah merupakan pengalaman fisik yang pertama kali dialami. Sebaliknya dimusim dingin suhu udara dapat mencapai 2ºC dengan kelembaban sangat rendah, sehingga rasa dingin menusuk tulang dan menyebabkan kulit kering serta pecah-pecah. Untuk mengatasi hal tersebut makanan bergizi dalam jumlah yang cukup harus dikonsumsi agar para jemaah haji mampu memenuhi kebutuhan tenaga yang dikeluarkan. Memperhatikan tabel 1, setiap jemaah haji pada musim dingin di Arab Saudi harus menambah setiap kali makan : ½ piring nasi, 1 potong lauk hewani, dan minum susu minimal 1 gelas sehari.

MAKANAN JAMAAH CALON HAJI SEBELUM BERANGKAT KE ARAB SAUDI

Makanan bergizi dapat membantu para jamaah calon haji dalam mempertahakan kondisi tubuh agar tetap sehat dan prima. Gizi adalah segala sesuatu tentang makanan dan kaitannya dengan kesehatan. Makanan sehat dan bergizi yang seimbang adalah makanan yang cukup zat gizinya sesuai keperluan tubuh. Setiap zat gizi mempunyai fungsi yang khusus dalam tubuh, oleh karena itu sebaiknya semua zat gizi harus terdapat dalam makanan sehari-hari, Setiap orang memerlukan jumlah makanan yang berbeda sesuai dengan jenis kegiatan

yang dilakukan (kegiatan ringan, sedang dan berat), jenis kelamin, kodisi tubuh, berat badan, tinggi badan. lingkungan Udara.

Pedoman makanan jamaah calon haji sebelum berangkat ke tanah suci sebagai berikut :

1. Makanlah makanan yang beraneka-ragam dan terdiri dari berbagai bahan makanan seperti makanan pokok, lauk pauk, Sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan.

2. Pilihlah bahan makanan pokok yang tinggi serat seperti beras, jagung, kentang, Ubi, talas, singkong, roti, mie dan sebagainya.

3. Makanlah lauk pauk yang bernilai gizi tinggi seperti daging, telur, ikan, ayam, kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tahu, tahu, tempe dan sebagainya.

4. Makanlah sayuran berwarna seperti bayam, Kangkung, wortel, Labu kuning, sawi, daun singkong dan sebagainya.

5. Makanlah buah-buahan berwarna kuning atau kemerahan yang banyak mengandung vitamin seperti pisang, pepaya, jeruk, nenas, peer, anggur, apel, semangka dan melon.

6. Minum minimal 10 gelas.

KONSELING GIZI BAGI JAMAAH CALON HAJI

A. Pengertian

1. Konseling Gizi adalah suatu proses komunikasi 2(dua) arah antara konselor dan Klien untuk membantu klien mengenali dan mengatasi masalah gizi

2. Konselor adalah tenaga kesehatan yang mempunyai latar belakang pendidikan gizi atau pendidikan kesehatan lainnya yang bekerja di Puskesmas / Dinas kesehatan / Rumah Sakit

3. Klien adalah sasaran konseling yang dalam hal ini adalah jamaah calon haji yang datang karena membutuhkan informasi tentang masalah kesehatan dan gizi agar mampu melaksanakan ibadah haji dengan baik.

B. Hal-Hal Yang Perlu Dimiliki Oleh Konselor

1. Mempunyai pengetahuan tentang :

- Ilmu gizi dasar dan dietetik

- Masalah gizi di Indonesia

2. Memiliki sikap yang sopan , sabar dan sederhana

3. Mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti klien

4. Menunjukkan sikap ingin membantu klien

5. Menciptakan suasana lingkungan konseling yang nyaman

6. Mampu menjadi pendengar yang baik dalam menerima keterangan dari klien

C. Tempat Konseling :

1. Ruang terpisah dengan ruangan lain agar klien merasa nyaman

2. Besar ruangan tergantung jumlah klien yang dilayani

3. Dalam ruangan tersedia fasilitas peralatan yang cukup memadai antara lain alat timbang berat badan dan pengukur tinggi badan, poster leatlet, food model dll

D. Langkah –Langkah Konseling Gizi:

1. Pengumpulan data ( data berat badan , tinggi badan , anamnasa gizi, data klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium serta data lain yang menunjang )

2. Identifikasi data & Pengkajian data yang terkumpul dikaji , diidentifikasi secara terperinci

3. Mengambil kesimpulan atas masalah gizi yang dihadapi klien berdasarkan pengkajian data

4. Perencaan konseling yang perlu diberikan

5. Memonitor dan Evaluasi hasil konseling

E. Konseling Gizi Dianggap Berhasil Apabila :

Klien mengerti, memahami serta mau menjalankan anjuran yang disampaikan oleh konselor

F. Hambatan Yang Sering Dijumpai Oleh Konselor :

1. Klien tidak mau bicara secara terbuka

2. Klien tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mendengarkan anjuran konselor

3. Klien berbicara terus yang sering tidak sesuai topik pembicaraan

4. Ruang dan suasana konsultasi tidak mendukung jalannya prases konsultasi