Kamis, 18 Desember 2008

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN GAKI

Program iodisasi garam merupakan program jangka panjang untuk penanggulangan Ganguan Akibat Kekurangan Iodium ( GAKI ) , cara ini dianggap yang paling sederhana dan aman, karena secara fisiologis memberikan iodium melalui makanan. Pengobatan GAKI tidak memberikan hasil yang memuaskan, yang terpenting dan memberikan hasil baik adalah upaya pencegahan. Upaya pencegahan itu dilakukan dengan tiga cara :
1. Penyuntikan depot lipiodol (iodium dalam minyak) intramuskular dengan dosis 2 ml. Dosis ini diberikan kepada anak-anak dan kepada ibu usia subur terutama pada ibu hamil. Penyuntikan ini merupakan upaya pencegahan sementara karena hanya menyediakan iodium dalam jangka waktu 6 bulan.
2. Distribusi garam dapur yang difortifikasi dengan iodium (KJO3) , tetapi ternyata kurang stabil karena mengalami kerusakan oksidatif, terutama jika terkena sinar matahari di udara terbuka. Saat ini digunakann KJO3 yang ditambahkan pada garam dapur (NaCl) dengan dosis 30.000 mg per kg garam. Penyediaan garam beriodium ini harus dibarengi oleh penyuluhan kepada masyarakat dan ditopang oleh peraturan dimana GAKI menjadi endemik.
3. Suplementasi iodium pada binatang ternak. Peningkatan aras iodium meningkat secara bermakna dalam air susu dan daging yang pada gilirannya kelak akan bertindak sebagai wahana pembawa iodium bagi konsumen.
Upaya untuk mencegah GAKI ternyata memiliki banyak hambatan antara lain bahwa di Indonesia garam dapur di produksi oleh rakyat yang tersebar disepanjang pantai Indonesia, sedangkan upaya fortifikasi iodium harus dilaksanakan di pabrik dengan kontrol dan pengawasan yang ketat. Selain itu, pada penyuntikan lipiodol biaya yang diperlukan terlalu mahal dan memerlukan dukungan logistik (alat suntik, tenaga pelaksana yang terlatih, transport obat yang menjamin tidak menyebabkan penurunan kadar preparat) dan sistem pemeliharaan data hasil monitoring.
Beberapa faktor penghambat program iodinasi:
1. Harga garam beriodium yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan garam non-iodium membuat banyak masyarakat penderita lebih memilih garam non-iodium untuk konsumsi sehari-hari.
2. Minat masayarakat penderita yang rendah akan garam beriodium. Selain karena harganya yang dianggap lebih mahal, hal ini juga disebabkan karena masih sangat kurang kampanye kesehatan mengenai pentingnya mengkonsumsi garam beriodium, terutama daerah-daerah endemik.
3. Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beriodium. Tingginya biaya produksi mengkin menjadi penyebab utama hal ini. Kondisi masayarakat yang cenderung untuk membeli garam yang lebih murah harganya, membuka kesempatan untuk bersaing secara tidak sehat, diantaranya dengan memproduksi garam beriodium yang tidak memenuhi syarat.
4. Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan pemerintah. Meskipun berbagai peraturan sudah ada, namun tidak adanya sanksi yang tegas dan jelas mengundang produsen untuk menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat.
5. Distribusi garam beridoium masih terbatas, sehingga masih banyak daerah endemik yang belum memperolehnya.
Kondisi GAKI tidak saja karena defisiensi primer dari zat gizi iodium. Ada kemungkinan terdapat bahan-bahan yang menghambat penyerapan iodium atau menghambat penggunaanya oleh sel-sel kelenjar gondok. Misalnya saja zat organik yang terdapat pada sawi cina yang menghambat pengikatan iodium pada rongga usus sehingga tidak dapat terserap oleh tubuh, HCN pada singkong dan kacang-kacangan yang dibebaskan dari glukosida cyanogenik dan didetoksifikasi di hati menjadi HCNS, zat ini menghambat iodium masuk ke kelenjar thyroid.
Segala upaya yang dilakukan seperti penyuntikan lipiodol dan distribusi garam dapur harus ditunjukkan pada daerah-daerah endemik dan ditopang oleh Peraturan Daerah yang hanya mengizinkan perdagangannya garam beriodium di daerah-daerah endemik tersebut. Pada bahan-bahan yang dapat menghambat penyerapan iodium harus mendapatkan perhatian dan sebaiknya diteliti lebih jauh, terutam bagi wilayah yang menggunakan singkong sebagai konsusmsi utama. Semua hal ini jika berjalan dengan lancar diharapkan dapat menurunkan penderita GAKI.
Pemilihan cara intervensi didasarkan pada derajat keparahan atau keendemisan GAKI:
• GAKI derajat ringan, kisaran prevalensi pada anak sekolah 5 – 20% dan kadar iodium dalam urin 3,5 – 5,0 μg/dl; dapat dikoreksi dengan pemberian garam beriodium sebanyak 10 – 25 mg/kg. GAKI yang ringan ini biasanya akan lenyap dengan sendirinya bila status ekonomi penduduk ditingkatkan.
• GAKI derajat sedang, prevalensi gondok mencapai angka 30%, kadar iodium dalam urin 2,0 – 3,5 μg/dl; dapat dikoreksi dengan garam beriodium sebanyak 25 – 40 mg/kg; dengan catatan bila garam tersebut dapat diproduksi dan disebar secara efektif. Jika tidak mungkin, lebih baik diberi minyak beriodium yang bisa diberi secara oral atau suntikan melalui puskesmas.
• GAKI berat, dengan prevalensi gondok 30% atau lebih, kretin endemis 1 – 10% dan kadar iodium urin kurang dari 2,0 μg/dl; harus diberi minyak beriodium baik secara oral suntikan. Dosis oral diberikan setiap 3, 6 dan 12 bulan. Suntikan dilakukan setiap 2 tahun. Pada kenyataannya, pemberian secara oral baru berhasil bila “penderita” bisa dihubungi setidaknya setahun. Oleh karena itu, preparat suntikan lebih disukai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar